“Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.” – Arai Semua
orang pasti memiliki mimpi. Namun hanya sedikit orang yang berani
menjadikan mimpinya sebagai tujuan hidupnya dan berusaha dengan segala
upaya untuk mewujudkan mimpinya. Tak sedikit orang hanya menjadikan
mimpi sebagai angan-angan yang seolah tak mungkin terjangkau, sehingga
ia menyerah pada mimpinya, melupakannya, dan tenggelam dalam rutinitas
hidup yang menjeratnya. Ikal dan Arai adalah pemimpi yang berani. Walau
terlahir dalam keluarga sederhana di Belitong, mereka memiliki mimpi
setinggi langit. Mimpi yang diperolehnya dari Pak Balia, guru SMA-nya.
“Murid-muridku, berkelanalah, jelajahi Eropa, jamah Afrika, termukan
mozaik nasibmu di pelosok-pelosok dunia. Tuntut ilmu sampai ke Sorbonne
di Prancis, saksikan karya-karya besar Antoni Gaudi si Spanyol.” (hal
34) Kalimat Pak Balia itu begitu menyentuh, menggelisahkan hati dan
pikiran mereka dan menyimpannya sebagai mimpi yang harus mereka raih.
Walau untuk menjelajahi Eropa bagaikan punguk
merindukan bulan, mereka
tak menyerah dengan keterbatasan mereka dan terus berusaha untuk
mewujudkannya. Mimpi itulah yang menjadi benang merah dari seluruh kisah
kehidupan Ikal yang kemudian ditulisnya dalam bentuk novel hingga
lahirlah apa yang disebut sebagai Tetralogi Laskar Pelangi. (Laskar
Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov). Setelah sukses di dua
novel terdahulunya, kini terbitlah novel ketiganya “Edensor”. Jika dalam
Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi Ikal bertutur mengenai mimpinya dan
usahanya untuk meraih mimpi-mimpi besarnya. Di buku ketiganya ini, apa
yang menjadi impian mereka benar-benar terwujud. Dalam Edensor mereka
benar-benar telah berada dalam tanah yang telah dijanjikan oleh
mimpi-mimpi mereka. Masih dalam gaya bertutur dan penyajian yang sama
seperti di buku keduanya, dimana Andrea merangkai kisah-kisahnya dalam
penggalan-penggalan mozaik kehidupan. Demikian pula dalam Edensor.
Kisah-kisahnya pendek-pendek saja (5-10 hal) sehingga di buku setebal
288 halaman ini memuat 44 mozaik/bab yang ditulis dengan lancar dan
memikat Tak heran banyak pembaca mengaku membaca buku ini dalam sekali
duduk. Di sepuluh mozaik pertama, novel ini kembali mengisahkan
kisah-kisah Ikal semasa masih di P. Belitong, bekerja di Bogor, hingga
keberangkatannya menuju Sorbonne-Prancis. Di bagian ini ada beberapa
kisah yang menarik antara lain kisah kelahiran si Ikal, bagaimana
perjuangan Ibunya agar bisa melahirkan tepat pada tanggal kelahiran PBB
(24 Oktober) agar kelak Ikal bisa menjadi juru pendamai. Lalu ada pula
kisah bagaimana nama Ikal yang sebelumnya pernah diberi nama Aqil Barraq
Badruddin harus diganti karena dirasa memberatkan. Namanya diganti
menjadi Wadudh, dan akhirnya diganti lagi menjadi Andrea Hirata. Nama
yang tak lazim bagi seorang anak melayu di Belitong. Di mozaik-mozaik
berikutnya barulah novel ini menceritakan mengenai pengalaman Ikal dan
Arai di tanah impiannya – Sorbonne – Prancis. Hal ini menarik karena
mengungkap bagaimana mereka harus menjalani kehidupan di sebuah dunia
yang benar-benar baru. Ketika baru saja Ikal dan Arai menginjakkan kaki
di Belgia, mereka terlunta-lunta di jalan dan didera cuaca dingin yang
menggila yang hampir saja merengut nyawa mereka. Geger budayapun dialami
oleh mereka, Ikal menemukan berbagai paradoks antara apa yang
dilihatnya di Eropa dengan keadaan di tanah kelahirannya. Dan yang
paling menarik dari novel ini terdapat di mozaik 31 hingga selesai. Di
bagian ini dikisahkan pertaruhan Ikal dan kawan-kawannya untuk
mengelilingi Eropa pada saat liburan musim panas. Masing-masing
membentuk kelompoknya sendiri-sendiri. Ikal berpasangan dengan Arai.
Yang menang adalah mereka yang dapat menempuh paling banyak kota dan
negara. Yang kalah harus mengurus laundry peserta lain selama tiga
bulan, dan yang paling memalukan, harus menuntun sepeda secara mundur
dari museum legendaris Le Leouvre ke gerbang L’Arc de Triomphe dimana di
sepedanya digantungi pakaian-pakaian rombeng. Ikal dan Arai melakukan
perjalanannya sebagai backpaker. Untuk membiayai perjalanannya mereka
harus rela menjadi pengamen seni, yaitu menampilkan seni patung dimana
Ikal dan Arai menjadi patung dan berdandan sebagai seekor putri duyung.
Perjalanan mereka penuh tantangan, ketika kehabisan uang, mereka harus
makan daun-daunan mentah untuk bertahan hidup. Namun Ikal dan Arai tak
pernah menyerah, mereka manusia yang hidup dalam mimpinya. Hanya
berbekal impian, keberanian dan tekad untuk memenangkan taruhan, mereka
akhirnya mereka mampu melakukan perjalanan ke 42 negara di Eropa, Rusia
hingga menjejakkan kakinya ke Afrika! Ketika kembali ke Paris, Ikal
kembali menekuni kewajibannya sebagai mahasiswa. Ia tenggelam dalam
risetnya. Berita buruk diterimanya karena Prof Turnbull, pembimbingnya
akan pensiun dan pulang kampung dan bekerja di Sheffiled Inggris.
Khawatir tesisnya terbengkalai, Ikal terpaksa mengikuti exchange program
ke Shieffield Hallam University untuk melanjutkan risetnya dibawah
bimbingan Prof Turnbull. Kini Ikal semakin dekat dengan Edensor, sebuah
desa di Inggris yang selama ini hanya dibacanya di novel karya James
Herriot pemberian A ling, gadis Hokian pujaan hatinya. Di novel
ketiganya ini Andrea tampaknya masih konsisten dengan gaya bertuturnya
di dua novel terdahulunya. Kalimat-kalimatnya kerap menggunakan
metafora-metafora yang mengejutkan dan mampu membuai pembacanya untuk
masuk dalam kisahnya. Tak hanya kisah serunya berpetualang ke berbagai
negara yang akan diperoleh pembacanya, dalam setiap kisahnya Andrea juga
senantiasa menyelipkan berbagai perenungan bijak yang membuat
pembacanya bergetar dalam haru, miris atau tersentuh semangatnya ketika
membaca kisah-kisahnya. Selain menyentuh pembacanya, novel ini juga
menyajikan kelucuan-kelucuan yang menghibur. Walau kadar kelucuannya tak
sampai membuat pembacanya tertawa-tawa seperti di novel keduanya, dalam
edensor sisi humornya antara lain terdapat dalam pencarian Ikal
terhadap pujaan hatinya A Ling. Untuk mencari jejak A Ling, ia
mengandalkan kecanggihan Internet. Ia memasukkan nama A Ling di search
engine dan menemukan nama itu berada di berbagai negara dan kota di
Eropa,. Dengan modal ini maka setiap Ikal mengunjungi negara tertentu
dia menyusuri alamat yang diperolehnya dari internet. Kelucuan merebak
ketika ternyata nama A Ling yang diperolehnya ternyata seorang wantia
tua, nama sebuah tempat, hingga nama merk obat kuat. Bagi mereka yang
suka melakukan perjalanan traveling ala backpacker, novel ini juga
memberikan berbagai tips yang menarik seperti negara-negara mana yang
menghargai para backpacker, fungsi baju second skin untuk mengatasi
dingin, pengalaman bergaul dengan backpacker kanada, tempat-tempat tidur
yang aman apakah di aman, di emper toko, di terminal, dll, termasuk
cara membaca arah dengan membaca rasi bintang belantik. Dari berbagai
kisah yang dimunculkan dalam buku ini, tampaknya Andrea memang sosok
yang sarat pengalaman hidup dan pengetahuan, selain mampu menebar
semangat dan inspirasi bagi pembacanya untuk berani mewujudkan mimpinya,
di novel ketiganya ini kita akan melihat Andrea juga dengan cerdas
memadukan sains, fisika, kimia, biologi, ekonomi, sastra, dan tak
ketinggalan kritik-kritik sosial terhadap indonesia yang dilihatnya
sebagai paradoks dari pengalamannya hidup di luar negeri. Yang tak kalah
menarik adalah monolognya dengan ekonom dunia Adam Smith yang menyerang
kaum monetaris yang bersekongkol mengumpulkan uang agar negara seperti
Indonesia tergadai karena berhutang. Dari ketiga karya Andrea, saya rasa
novel pertamanya tetap lebih dahsyat dibanding Sang Pemimpi dan
Edensor. Bukan berarti dua yang terakhir buruk, namun dalam Sang Pemimpi
dan Edensor, ekplorasi karakter tokoh dan peristiwa tak sedalam Laskar
Pelangi. Mungkin ini akibat gaya betutur Andrea di novel kedua dan
ketiganya yang dipenggal-penggal dalam peristiwa-peristiwa yang
dialaminya sehingga lebih menyerupai cerpen dengan benang merah yang
kuat, yaitu mimpi Ikal dan Arai. Namun terlepas dari perbandingan antara
novel pertama, kedua, dan ketiganya. Dari tiga karya Andrea yang telah
diterbitkan, ketiga-tiganya sangat berpotensi dalam memberikan letupan
inspirasi bagi pembacanya untuk tidak menyerah dalam mengejar mimpi.
Semua telah kami rasakan, dalam kemenangan manis yang gilang gemilang
dan kekalahan getir yang paling memalukan, tapi tak selangkah pun kami
tak mundur, tak pernah. Kami jatuh, bangkit, jatuh lagi, dan bangkit
lagi. (hal 277)
Download Link Novel EDENSOR
Karna ini ebook format nya DJVU saya sertakan juga sofware pembaca DJVU nya.
yang belum punya sofware pembaca ebook DJVU download dulu sofware pembaca ebook DJVU di sini
Download
Karna ini ebook format nya DJVU saya sertakan juga sofware pembaca DJVU nya.
yang belum punya sofware pembaca ebook DJVU download dulu sofware pembaca ebook DJVU di sini
Download
Tidak ada komentar:
Posting Komentar